KONDISI
PEREKONOMIAN INDONESIA PADA MASA PEMERINTAHAN SBY
Tingkat kemiskinan juga terus berkurang. Pada tahun 1998, angka kemiskinan mencapai 24.2 persen. Pada masa awal Presiden SBY, tingkat kemiskinan ini turun menjadi 16.7 persen. Dan pada 2008 tinggal 15.4 persen dari total penduduk Indonesia.
Utang kepada Dana Moneter Internasional (IMF) dipangkas habis pada masa pemerintahan SBY. Tengok saja, pada tahun 1998, utang Indonesia kepada IMF sebesar 9.1 miliar dolar AS. Pada tahun 2006, dua tahun setelah memimpin Indonesia, Presiden SBY berhasil melunasi seluruh utang kita sebesar 7.8 miliar dolar AS.
Selengkapnya, lihat data-data laju pembangunan Indonesia 10 tahun terakhir berikut. Data-data ini berasal dari BPS.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama 10 tahun era SBY, Indonesia yang 10 tahun lalu nyaris bangkrut akibat krisis 1998, sekarang masuk ke dalam kategori kelompok 15 negara dengan skala ekonomi terbesar di dunia. Skala ekonomi tersebut diukur dari angka PDB dan besaran APBN, yang saat ini mencapai Rp. 1.529 Triliun.
Pendapatan per kapita per tahun Indonesia naik 3 kali lipat selama 10 tahun terakhir. Dari hanya Rp. 10,5 juta di jaman Pemerintahan Megawati (2003) menjadi Rp. 33, 7 juta di tahun 2013. Rasio utang luar negeri kita terhadap PDB juga merosot tajam, dari angka bahaya 85% di era Suharto/Habibie (1999), ke zona merah 65 % di era Gus Dur/Megawati di tahun 2003), lalu, merosot tajam ke zona aman sebesar 23, 4% di era SBY tahun 2013. Rasio rendah utang LN ke PDB adalah sebuah indikator yang sangat penting bagi perekonomian sebuah negara berkembang seperti Indonesia.
Di jaman SBY semua sisa utang ke IMF, sebesar US. 3,1 Miliar dollar, yang dipinjam dari IMF untuk pemulihan krisis 98, tuntas terbayar lunas hanya dalam 2 tahun setelah SBY menjabat sebagai Presiden. Harap dicatat, sisa utang tersebut sebenarnya baru akan jatuh tempo wajib pelunasan di akhir 2010. Namun, SBY mengambil kebijakan tegas untuk melunasinya lebih cepat di tahun 2006. Pelunasan utang ini memiliki dampak positif unik, baik secara psikologis maupun politis bagi masa depan Indonesia.
Hanya selang setahun, setelah melunasi utang IMF di 2006, SBY kembali membuat gebrakan yang mengejutkan dunia internasional dengan membubarkan CGI di tahun 2007. CGI (Consultative Group on Indonesia) adalah konsorsium dari 30 negara-negara,lembaga-lembaga kreditor dan donor untuk Indonesia yang dibentuk pada tahun 1992 oleh mendiang Presiden Suharto untuk menggantikan konsorsium yang sama, yaitu IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia).
Dari era pemerintahan Suharto hingga Presiden Megawati, CGI, yang dinakhodai Pemerintah Belanda itu, ibarat “juragan besar” yang mau tak mau harus ditaai penuh oleh Indonesia karena memang setiap tahunnya mendikte langsung arah dan skenario pembangunan Indonesia lewat perangkap utang LN yang disalurkannya. Setiap tahun CGI memasok hutang LN sekitar Rp. 25 triliun yang kemudian harus dibayar mahal dengan bunga, cicilan pokok dan commitmen fee. Namun, isu yang paling krusial dari perangkap utang LN --sebagaimana dialami oleh berbagai negara berkembang seperti Argentina, yang nyaris bangkrut akibat perangkap utang luar negerinya-- adalah bahwa instrumen utang LN, yang disalurkan konsorsium seperti CGI tersebut, lebih melayani kepentingan negara peminjam dibanding menjawab kebutuhan riil negara penerima. Program, proyek, bantuan teknis dan mobilisasi ekspertise yang dibiayai utang tersebut justru lebih berfungsi melayani ekspansi kapitalisme negara donor dibanding tujuan pengentasan kemiskinan secara langsung di negara penerima seperti Indonesia.
Pembubaran CGI tersebut menjadi langkah fenomenal bangsa Indonesia dibawah kepemimpinan SBY. Banyak pro-kontra yang muncul dari kebijakan berani tersebut. Aneka lobbi, pendekatan dan bahkan tekanan politik untuk mencegah kebijakan berani ini datang dari berbagai penjuru. Ini mengingat selama kurang lebih empat puluh tahun beroperasi, vested interested konsorsium donor telah menggurita seacara sistematis di dalam skema perangkap politik utang LN Indonesia.
Litani pujian atas ketegasan politik SBY membubarkan CGI dan pelunasan utang IMF mengalir deras di tahun 2007. Pembubaran ini dipandang ibarat fajar menyingsing bagi kedaulatan bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) sebagaimana dimimpikan oleh para founding fathers kita dalam UUD 45.
Sejak 2007, secara relatif, Indonesia memiliki kedaulatan di dalam mengelola perekonomiannya secara mandiri. Praktik pengerusan keuntungan oleh konsorsium multilateral negara-negara donor terhadap Indonesia sirna hanya tercatat di dalam sejarah. Di pihak lain, birokrasi pemerintah mulai terlatih bernegosiasi secara bilateral dengan negara-negara maju untuk merancang kerjasama ekonomi di atas prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan.
Bonus dari capaian cemerlang ini berujung, antara lain, dalam bentuk perbaikan peringkat Indonesia di mata investor global. Setelah kehilangan kepercayaan dari investor asing selama kurang lebih 14 tahun, untuk pertama kali pascakrisis Asia, Indonesia berhasil merebut kembali kredibilitas investor global lewat rating investmenst grade dari berbagai lembaga pemeringkat dunia seperti Standar and Poor, Moody’s Investors Service. Di tahun 2012, Indonesia naik kelas di tengah persaingan ketat globalisasi. Dengan label “investment grade” atau layak menjadi tujuan investasi, perbaikan dan penguatan fondasi ekonomi Indonesia makin nyata dan terkonsolidasi.
Penguatan fondasi ekonomi Indonesia tampak jelas sangat meyakinkan pada, misalnya, cadangan devisa negara. Pada era SBY lah, cadangan devisa terbesar yang pernah dimiliki republik ini, yaitu sebesar US$124,6 Miliar (akhir Agustus 2011). Dengan cadangan devisa negara yang begitu besar, Indonesia memiliki ketangguhan fiskal untuk bisa bermanuver di saat krisis global datang mengancam. Dengan cadangan devisa yang relatif baik tersebut, Indonesia juga memiliki ruang fiskal yang longgar untuk mensejahterahkan masyarakatnya lewat anggaran pendidikan, kesehatan dan infrastruktur yang lebih memadai.
Tidak hanya sektor negara dalam bentuk cadangan devisa, sektor swasta juga mengalami cipratan rejeki akselerasi pembangunan ekonomi di era pemerintahan SBY. Hal ini dapat dilihat dari grafik pertumbuhan nilai IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan). Dari jaman Suharto/Habibie ke era Presiden Gus Dur/Megawati, kenaikan nilai IHSG hanya mengalami sekitar 14 %, yaitu dari nilai 676,9 (di era Suharto/Habibie) menjadi 1000,23 ( di era Gus Dur/Megawati). Kenaikan nilai IHSG di era SBY/Budiono meroket tajam hingga mencapai 400% lebih menjadi 4.316, 6.
Pertumbuhan IHSG Indonesia merupakan tertinggi di urutan ke 7 di seluruh Asia selama 10 tahun terakhir di bawah kepemimpinan SBY. Ichwal inilah kemudian oleh pelaku pasar global menyebut Indonesia dengan label baru sebagai “the new emerging market” di Asia Pasifik. Arus investasi dari luar (PMA) dan dari dalam negeri (PMDN) kemudian masuk deras menimbulkan efek domino positif berupa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penciptaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan dan kenaikan pendapatan per kapita. .
Salah satu penyebab
utama kesuksesan perekonomian Indonesia adalah efektifnya kebijakan pemerintah
yang berfokus pada disiplin fiskal yang tinggi dan pengurangan utang Negara.
Perkembangan yang terjadi dalam lima tahun terakhir membawa perubahan yang
signifikan terhadap persepsi dunia mengenai Indonesia. Namun masalah-masalah
besar lain masih tetap ada. Pertama, pertumbuhan makroekonomi yang pesat belum
menyentuh seluruh lapisan masyarakat secara menyeluruh. Walaupun Jakarta
identik dengan vitalitas ekonominya yang tinggi dan kota-kota besar lain di
Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang pesat, masih banyak warga Indonesia
yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Berikut ini kondisi
perekonomian Indonesia pada masa pemerintahan SBY dari berbagai bidang :
1)
Politik
Dalam pemilu legislatif 2004, partai yang didirikan
oleh SBY, yaitu Partai Demokrat, meraih 7,45% suara. Kemudian pada 10 Mei 2004,
tiga partai politik yaitu Partai Demokrat, Partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia, dan Partai Bulan Bintang secara resmi mencalonkannya sebagai
presiden dan berpasangan dengan kandidat wakil presiden Jusuf Kalla.
Dalam masa kepemimpinannya bersama Jusuf Kalla, beliau didukung oleh koalisi
dari Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan
dan Persatuan Indonesia, dan Partai Bulan Bintang.
Kemudian di pemilu 2009, SBY kembali menjadi calon
presiden bersama pasangan barunya yaitu Boediono dan kembali terpilih sebagai
presiden Indonesia.
Pada periode kepemimpinannya yang pertama, SBY
membentuk Kabinet Indonesia Bersatu yang merupakan kabinet pemerintahan
Indonesia pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wakil Presiden
Muhammad Jusuf Kalla. Kabinet Indonesia Bersatu dibentuk pada 21 Oktober 2004 dan
masa baktinya berakhir pada tahun 2009. Pada 5 Desember 2005,
Presiden Yudhoyono melakukan perombakan kabinet untuk pertama kalinya, dan
setelah melakukan evaluasi lebih lanjut atas kinerja para menterinya, Presiden
melakukan perombakan kedua pada 7 Mei 2007.
Pada periode kepemimpinannya yang kedua, SBY membentuk
Kabinet Indonesia Bersatu II yang merupakan kabinet pemerintahan Indonesia
pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Wakil Presiden Boediono.
Susunan kabinet ini berasal dari usulan partai politik pengusul
pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009 yang
mendapatkan kursi di DPR (Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, dan PKB) ditambah Partai Golkar yang bergabung
setelahnya, tim sukses pasangan SBY-Boediono pada Pilpres 2009, serta kalangan
profesional. Susunan Kabinet Indonesia Bersatu II diumumkan oleh Presiden SBY
pada 21 Oktober 2009 dan
dilantik sehari setelahnya. Pada 19 Mei 2010,
Presiden SBY mengumumkan pergantian Menteri Keuangan. Pada tanggal 18 Oktober
2011, Presiden SBY mengumumkan perombakan Kabinet Indonesia Bersatu II,
beberapa wajah baru masuk ke dalam kabinet dan beberapa menteri lainnya
bergeser jabatan di dalam kabinet.
Konsep Trias Politika (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif) pada masa
pemerintahan SBY mengalami perubahan progresif, dimana konsep tersebut berusaha
menempatkan posisinya berdasarkan prinsip structural Sistem Politik Indonesia,
yakini berdasarkan kedaulatan rakyat. Pada masa pemerintahan SBY, hal tersebut
benar-benar terimplementasikan, dimana rakyat bisa memilih secara langsung
calon wakil rakyat melalui Pemilu untuk memilih anggota dewan legislaif, dan
Pilpres untuk pemilihan elit eksekutif, sekalipun untuk elit yudikatif,
pemilihanya masih dilakukan oleh DPR dengan pertimbangan presiden.
Di Indonesia sendiri, selama masa pemerintahan SBY di tahun 2004-2009,
sistem kepartaian mengalami perubahan yang signifikan, dimana partai
politik bebas untuk didirikan asalkan sesuai dengan persyaratan dan ketentuan
yang berlaku, serta tidak menyimpang dari hakikat pancasila secara universal.
Masyarakat Indonesia pun dapat memilih calon wakil rakyat pilihan mereka secara
langsung, hal tersebut tentu menunjukan apresiasi negara terhadap hak dasar
bangsa secara universal dalam konteks pembentukan negara yang demokratis.
Politik pencitraan merupakan salah satu senjata ampuh yang digunakan para
pemimpin negara untuk mengambil hati rakyatnya. Pola politik pencitraan tentu
digunakan oleh hampir semua pemimpin negara di dunia, termasuk Presiden SBY.
Selaku pemimpin negara, ia tentu harus membentuk citra dirinya sebaik mungkin
demi menjaga imej baiknya di mata masyarakat Indonesia. Dalam melakukan politik
pencitraan tersebut, Presiden SBY melakukanya dengan beberapa hal, yang terbagi
dalam konteks internal dan konteks eksternal.
Dalam konteks internal, politik pencitraan SBY dilakukan dengan menggunakan
kapabilitas internalnya, yakni dengan kapabilitas retorika atau kemampuan
berbicara di depan umum. Dari lima jenis retorika yang dikemukakan Aristoteles,
Presiden SBY dinilai mengimplementasikan Retorika tipe Elucotio, dimana pembicara memilih kata-kata dan bahasa yang tepat
sebagai alat pengemas pesanya ketika berbicara di depan umum. Selain hal
tersebut, konteks internal disini berkaitan dengan sikap bijak, kalem, dan
legowo yang ditunjukan Presiden SBY kepada masyarakat, dimana hal tersebut
tentunya dapat berimplikasi terhadap penarikat rasa simpatik masyarakat itu
sendiri.
Dalam konteks eksternal, politik pencitraan SBY dilakukan dengan beragam
aspek, salah satunya adalah kampanye, dan introduksi prestasi positif SBY
selama memerintah Indonesia. Hal tersebut tentu dapat memicu ketertarikan
rakyat Indonesia akan keberhasilan SBY dan menjadi simpatik atasnya.
2) Hukum
Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang selama ini dianggap paling
krusial. Masalah-masalah hukum yang mulai dihadapi SBY terkait dengan bencana
alam maupun bencana akibat kesalahan manusia yang terjadi pada awal
pemerintahannya, mulai bencana tsunami di Aceh, gempa di Yogyakarta, jatuhnya
pesawat Adam Air, sampai lumpur Lapindo di Sidoarjo dan bencana akibat
pembagian BLT (bantuan langsung tunai) sebagai kompensasi BBM (bahan bakar
minyak). Kemudian juga mulai muncul masalah kedaulatan negara dan hukum
internasional yang terkait dengan kasus intervensi beberapa negara (Amerika Serikat
dan Singapura) dalam pencarian lokasi jatuhnya Adam Air dan kotak hitamnya.
Pemerintahan SBY, dapat membangkitkan semangat dan solidaritas kemanusiaan
sampai tingkat internasional untuk memberikan bantuan bagi para korban bencana,
selain penggunaan instrumen hukum untuk menanggulangi bencana alam melalui
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007. SBY menunjukkan usaha secara
signifikan penanggulangan bencana baik melalui aspek hukum nasional maupun
aspek diplomasi dengan dunia internasional.
Kepemimpinan SBY yang selama ini dikritik sebagai kepemimpinan yang lamban
dan lemah juga terlihat dalam beberapa kasus bertindak gamang dan terkesan
mendua, bahkan satu kasus yang sampai saat ini belum terselesaikan, yaitu kasus
pembunuhan Munir, SBY mulai bertindak kritis karena dipengaruhi oleh kegigihan
dari Suciwati, istri almarhum, yang berhasil menarik perhatian kalangan
internasional. Akan tetapi ketidaktegasan pemerintah SBY juga ternyata masih
ada, terutama dalam penyelesaian kasus Soeharto yang sampai saat ini tidak ada
perkembangan selanjutnya bahkan terkesan hilang tertutup oleh kasus-kasus lain.
Sedangkan dalam beberapa kasus lainnya SBY dianggap telah bertindak benar dan
konstitusionil, antara lain ketidakhadirannya dalam sidang interpelasi DPR
untuk kasus persetujuan resolusi DK PBB atas nuklir Irak, maupun dalam memilih
Boediono dan meninggalkan koalisi yang telah dibuatnya dengan beberapa partai
lain.
Pemberantasan terorisme yang sampai saat ini berlangsung bisa jadi
merupakan salah satu kelebihan pemerintahan SBY yang seolah tidak kenal
kompromi terhadap para pelaku terorisme, hal ini juga didukung oleh latar
belakang SBY dari jajaran militer. Pembentukan pasukan khusus anti terorisme
atau Detasemen khusus 88 Anti Terorisme (Densus 88), yang didasarkan atas
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, merupakan
salah satu strategi yang cukup dapat diandalkan dalam rangka mengeliminasi atau
bahkan menghapuskan terorisme dari bumi Indonesia.
3)
Ekonomi
Pada pemerintahan SBY kebijakan yang dilakukan adalah
mengurangi subsidi Negara Indonesia, atau menaikkan harga Bahan Bahan Minyak
(BBM), kebijakan bantuan langsung tunai kepada rakyat miskin akan tetapi
bantuan tersebut diberhentikan sampai pada tangan rakyat atau masyarakat yang
membutuhkan, kebijakan menyalurkan bantuan dana BOS kepada sarana pendidikan
yang ada di Negara Indonesia. Akan tetapi pada pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono dalam perekonomian Indonesia terdapat masalah dalam kasus Bank
Century yang sampai saat ini belum terselesaikan bahkan sampai mengeluarkan
biaya 93 miliar untuk menyelesaikan kasus Bank Century ini.
Kondisi perekonomian pada masa pemerintahan SBY
mengalami perkembangan yang sangat baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh
pesat di tahun 2010 seiring pemulihan ekonomi dunia pasca krisis global yang
terjadi sepanjang 2008 hingga 2009.
Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi
Indonesia dapat mencapai 5,5-6 persen pada 2010 dan meningkat menjadi 6-6,5
persen pada 2011. Dengan demikian prospek ekonomi Indonesia akan lebih baik
dari perkiraan semula.
Sementara itu, pemulihan ekonomi global berdampak
positif terhadap perkembangan sektor eksternal perekonomian Indonesia. Kinerja
ekspor nonmigas Indonesia yang pada triwulan IV-2009 mencatat pertumbuhan cukup
tinggi yakni mencapai sekitar 17 persen dan masih berlanjut pada Januari 2010.
Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian
Indonesia adalah efektifnya kebijakan pemerintah yang berfokus pada disiplin
fiskal yang tinggi dan pengurangan utang Negara.Perkembangan yang terjadi dalam
lima tahun terakhir membawa perubahan yang signifikan terhadap persepsi dunia
mengenai Indonesia. Namun masalah-masalah besar lain masih tetap ada. Pertama,
pertumbuhan makroekonomi yang pesat belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat
secara menyeluruh. Walaupun Jakarta identik dengan vitalitas ekonominya yang
tinggi dan kota-kota besar lain di Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang
pesat, masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Tingkat pertumbuhan ekonomi periode 2005-2007 yang dikelola pemerintahan
SBY-JK relatif lebih baik dibanding pemerintahan selama era reformasi dan
rata-rata pemerintahan Soeharto (1990-1997) yang pertumbuhan ekonominya sekitar
5%. Tetapi, dibanding kinerja Soeharto selama 32 tahun yang pertumbuhan
ekonominya sekitar 7%, kinerja pertumbuhan ekonomi SBY-JK masih perlu
peningkatan. Pertumbuhan ekonomi era Soeharto tertinggi terjadi pada tahun 1980
dengan angka 9,9%. Rata-rata pertumbuhan ekonomi pemerintahan SBY-JK selama
lima tahun menjadi 6,4%, angka yang mendekati target 6,6%
Kebijakan menaikkan harga BBM 1 Oktober 2005, dan sebelumnya Maret 2005,
ternyata berimbas pada situasi perekonomian tahun-tahun berikutnya.
Pemerintahan SBY-JK memang harus menaikkan harga BBM dalam menghadapi tekanan
APBN yang makin berat karena lonjakan harga minyak dunia. Kenaikan harga BBM
tersebut telah mendorong tingkat inflasi Oktober 2005 mencapai 8,7% (MoM) yang
merupakan puncak tingkat inflasi bulanan selama tahun 2005 dan akhirnya ditutup
dengan angka 17,1% per Desember 30, 2005 (YoY). Penyumbang inflasi terbesar
adalah kenaikan biaya transportasi lebih 40% dan harga bahan makanan 18%.Core inflation pun naik menjadi 9,4%, yang
menunjukkan kebijakan Bank Indonesia (BI) sebagai pemegang otoritas moneter
menjadi tidak sepenuhnya efektif. Inflasi yang mencapai dua digit ini jauh
melampaui angka target inflasi APBNP II tahun 2005 sebesar 8,6%. Inflasi sampai
bulan Februari 2006 (YoY) masih amat tinggi 17,92%, bandingkan dengan Februari
2005 (YoY) 7,15% atau Februari 2004 (YoY) yang hanya 4,6%.
Efek inflasi tahun 2005 cukup berpengaruh terhadap tingkat suku bunga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang menjadi referensi suku bunga simpanan di
dunia perbankan.
4) Pendidikan
Pendidikan merupakan hal mendasar. Pendidikanlah yang menentukan kualitas
sumber daya manusia. Kebijakan dalam bidang pendidikan diterapkan oleh
kepemimpinan SBY. Beberapa diantaranya adalah meningkatkan anggaran pendidikan
menjadi 20% dari keseluruhan APBN. Meneruskan dan mengefektifkan program
rehabilitasi gedung sekolah yang sudah dimulai pada periode 2004-2009, sehingga
terbangun fasilitas pendidikan yang memadai dan bermutu dengan memperbaiki dan
menambah prasarana fisik sekolah, serta penggunaan teknologi informatika dalam
proses pengajaran yang akan menunjang proses belajar dan mengajar agar lebih
efektif dan berkualitas.
Pemanfaatan alokasi anggaran minimal 20 persen dari APBN untuk memastikan
pemantapan pendidikan gratis dan terjangkau untuk pendidikan dasar 9 tahun dan
dilanjutkan secara bertahap pada tingkatan pendidikan lanjutan di tingkat SMA.
Perbaikan secara fundamental kualitas kurikulum dan penyediaan buku-buku
yang berkualitas agar makin mencerdaskan siswa dan membentuk karakter siswa
yang beriman, berilmu, kreatif, inovatif, jujur, dedikatif, bertanggung jawab,
dan suka bekerja keras.
Meneruskan perbaikan kualitas guru, dosen serta peneliti agar menjadi pilar
pendidikan yang mencerdaskan bangsa, mampu menciptakan lingkungan yang
inovatif, serta mampu menularkan kualitas intelektual yang tinggi, bermutu, dan
terus berkembang kepada anak didiknya. Selain program sertifikasi guru untuk
menjaga mutu, juga akan ditingkatkan program pendidikan dan pelatihan bagi para
guru termasuk program pendidikan bergelar bagi para guru agar sesuai dengan
bidang pelajaran yang diajarkan dan semakin bermutu dalam memberikan pengajaran
pada siswa.
Memperbaiki remunerasi guru dan melanjutkan upaya perbaikan penghasilan
kepada guru, dosen, dan para peneliti.
Memperluas penerapan dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
untuk mendukung kinerja penyelenggaraan pembangunan di bidang pendidikan.
5) Sosial
Presiden SBY berhasil meredam berbagai konflik di Ambon, Sampit dan juga di
Aceh.
Pada masa pemerintahan ini, kehidupan masyarakat mulai menuju kepada
kehidupan individualis yang mengutamakan kepentingan individu. Hal ini dapat
dilihat dengan kurangnya sosialisasi antarwarga di perkotaan.
Arus urbanisasi juga semakin marak. Namun pemerintah tidak lagi mencanangkan
transmigrasi.
Di pemerintahan SBY juga telah dibuat undang-undang mengenai pornografi dan
pornoaksi. Namun usaha ini tidak disertai dengan penegakan hukum yang baik
sehingga tidak terealisasi.
Meski konflik di beberapa daerah telah diredam, namun kembali muncul
berbagai konflik lagi seperti di Makassar. Bahkan baru-baru ini terjadi tawuran
antar-SMA di Jakarta yang membawa korban para pejuang jurnalistik.
6)
Budaya
Dalam hal pelestarian budaya, di masa pemerintahan SBY terlihat jelas
kemundurannya. Terutama dengan banyaknya warisan budaya asli Indonesia yang
diklaim oleh pemerintah negara lain. Namun di masa ini, terdapat keberhasilan dengan pengakuan dari UNESCO bahwa
batik Indonesia adalah warisan budaya Indonesia.
Pemerintahan
Indonesia Bersatu Jilid I (Era SBY- JK) = (2004-2009)
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan
ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM
dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan
kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni
Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak
sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah
sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah
mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim
investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit
pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan
kepala-kepala daerah.
Menurut
Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja.
Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi
kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah
revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Selain
itu, pada periode ini pemerintah melaksanakan beberapa program baru yang
dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat kecil diantaranya PNPM Mandiri
dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program ini berjalan sesuai dengan yang
ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan disana-sini.
Pada
pertengahan bulan Oktober 2006 , Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF
sebesar 3,2 miliar dolar AS. Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi
mengikuti agenda-agenda IMF dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun
wacana untuk berhutang lagi pada luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya
laporan bahwa kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan
jumlah penduduk miskin meningkat dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi
39,05 juta jiwa pada bulan Maret 2006.
Hal ini
disebabkan karena beberapa hal, antara lain karena pengucuran kredit perbankan
ke sector riil masih sangat kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di
SBI), sehingga kinerja sector riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi.
Selain itu, birokrasi pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan
kecilnya realisasi belanja Negara dan daya serap, karena inefisiensi
pengelolaan anggaran. Jadi, di satu sisi pemerintah berupaya mengundang
investor dari luar negri, tapi di lain pihak, kondisi dalam negeri masih kurang
kondusif.
Namun,
selama masa pemerintahan SBY, perekonomian Indonesia memang berada pada masa
keemasannya. Indikator yang cukup menyita perhatian adalah inflasi.
Sejak
tahun 2005-2009, inflasi berhasil ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada
tahun 2005 menjadi 6,96% pada tahun 2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi
SBY yang berbunyi pro-poor, pro-job, dan pro growth (dan kemudian ditambahkan
dengan pro environment) benar-benar diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan
dari 36,1 juta pada tahun 2005, menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya,
hampir sebanyak 6 juta orang telah lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun
waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas dari strategi SBY yang pro growth yang
mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas dari
pertumbuhan PDB yang berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi masyarakat yang
memberikan efek pada peningkatan kapasitas produksi di sector riil yang tentu
saja banyak membuka lapangan kerja baru. Memasuki tahun ke dua masa
jabatannya, SBY hadir dengan terobosan pembangunannya berupa master plan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3 EI). Melalui
langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan Indonesia
sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita antara UsS
14.250-USS 15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USS
4,0-4,5 triliun.
Pemerintahan
Indonesia Bersatu Jilid II (Era SBY–BOEDIONO) = (2009-2014)
Pada
periode ini, pemerintah khususnya melalui Bank Indonesia menetapkan empat
kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional negara yaitu :
- BI rate
- Nilai tukar
- Operasi moneter
- Kebijakan makroprudensial untuk pengelolaan likuiditas dan makroprudensial lalu lintas modal.
Hampir
tujuh tahun sudah ekonomi Indonesia di tangan kepemimpinan Presiden SBY dan
selama itu pula perekonomian Indonesia boleh dibilang tengah berada pada masa
keemasannya. Beberapa pengamat ekonomi bahkan berpendapat kekuatan ekonomi
Indonesia sekarang pantas disejajarkan dengan 4 raksasa kekuatan baru
perekonomian dunia yang terkenal dengan nama BIRC (Brazil, Rusia, India, dan
China).
Krisis
global yang terjadi pada tahun 2008 semakin membuktikan ketangguhan
perekonomian Indonesia. Di saat negara-negara superpower seperti Amerika
Serikat dan Jepang berjatuhan, Indonesia justru mampu mencetak pertumbuhan yang
positif sebesar 4,5% pada tahun 2009.
Gemilangnya
fondasi perekonomian Indonesia direspon dunia internasional dengan menjadikan
Indonesia sebagai salah satu negara pilihan tempat berinvestasi. Dua efeknya
yang sangat terasa adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencapai rekor
tertingginya sepanjang sejarah dengan berhasil menembus angka 3.800. Bahkan
banyak pengamat yang meramalkan sampai akhir tahun ini IHSG akan mampu menembus
level 4000.
Indonesia
saat ini menjadi ekonomi nomor 17 terbesar di dunia. “Tujuan kami adalah untuk
menduduki 10 besar. Kami sangat optimistis karena IMF pun memprediksi ekonomi
Indonesia akan mengalahkan Australia dalam waktu kurang dari satu dekade ke
depan,” tutur SBY dalam sebuah acara.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan kondisi
perekonomian Indonesia saat ini, di mana nilai tukar rupiah dan indeks harga
saham bergejolak, telah diperkirakan sebelumnya.
"Oleh karena itu, saat ini pemerintah bersama Bank Indonesia dan pihak-pihak terkait sedang dan terus bekerja untuk mengelola dan mengatasi masalah-masalah yang kita hadapi," kata SBY, di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 12 Juni 2013.
Menurut dia, situasi perekonomian yang dihadapi Indonesia saat ini mirip seperti 2005 lalu, persis sebelum pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi saat itu. "Tapi Alhamdulillah, permasalahan itu dapat kami atasi dengan baik," ujar SBY.
SBY juga menilai situasi ekonomi Indonesia sekarang memiliki kesamaan dengan kondisi perekonomian pada 2008 lalu. Meski secara global kondisinya tak seburuk tahun itu.
"Oleh karena itu, saat ini pemerintah bersama Bank Indonesia dan pihak-pihak terkait sedang dan terus bekerja untuk mengelola dan mengatasi masalah-masalah yang kita hadapi," kata SBY, di Kantor Kepresidenan, Jakarta, Rabu, 12 Juni 2013.
Menurut dia, situasi perekonomian yang dihadapi Indonesia saat ini mirip seperti 2005 lalu, persis sebelum pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak bersubsidi saat itu. "Tapi Alhamdulillah, permasalahan itu dapat kami atasi dengan baik," ujar SBY.
SBY juga menilai situasi ekonomi Indonesia sekarang memiliki kesamaan dengan kondisi perekonomian pada 2008 lalu. Meski secara global kondisinya tak seburuk tahun itu.
Referensi :